SASC – Aplikasi ADAB to Connect: Dari Binusian untuk Binusian

Pernahkah kalian membayangkan sedang duduk di kelas dengan teman-teman kalian, dosen sedang menjelaskan sambil berkeliling kelas, lalu teman sebelahmu terlihat sibuk mencatat apa yang dosen ucapkan, salah satu teman di belakang bahkan mengangkat tangan dan bertanya. Tetapi kamu, tidak bisa mendengar apa yang dosenmu ucapkan, sehingga tidak bisa mencatatnya, apalagi menanyakan maksud penjelasan dosen tersebut. Menurutmu bagaimana rasanya? Bingung? Resah? Atau mungkin  putus asa karena tidak bisa menjadi bagian dari interaksi kelas padahal kalian duduk di dalamnya?

Tahukah kalian bahwa situasi seperti contoh di atas merupakan situasi belajar sehari-hari yang sering dialami oleh teman tuli. Untuk teman-teman yang belum familiar dengan kata Tuli, ini adalah sebutan yang lebih disukai oleh individu dengan gangguan pendengaran, dibandingkan dengan istilah Tuna Rungu. Menurut teman Tuli, Tuna Rungu menggambarkan adanya kerusakan dalam diri mereka atau keterbatasan dari fungsi, sedangkan Tuli mewakili budaya dan cara berkomunikasi yang berbeda. Bagi teman Tuli dengan level pendengaran yang berbeda-beda, untuk bisa mendengar informasi dengan lengkap dan untuk menyampaikan apa yang ia pikiran dan rasakan, terkadang bukanlah hal yang mudah. Apalagi di dalam situasi kelas yang ramai, dengan proses belajar yang bermacam-macam metodenya, bisa jadi ada informasi atau penjelasan dosen yang tidak tertangkap secara optimal. Hal ini menyebabkan teman Tuli memiliki pemahaman yang kurang utuh terhadap mata kuliah yang diajarkan.

Berangkat dari kondisi ini, Brian Thennoza, seorang binusian 2022 dari jurusan Mobile Application & Technology (MAT) di bawah bimbingan dosennya, Bu Sonya Rapinta Manalu, membuat aplikasi yang bertujuan agar mahasiswa Tuli bisa mengikuti perkuliahan dengan optimal di kelas. Konsep aplikasi speech to text ini kemudian dimatangkan dan akhirnya tercetuslah aplikasi dengan nama ADAB to Connect. ADAB adalah singkatan dari Ayo Dengar Ayo Bicara. ADAB to Connect ini awalnya Brian kembangkan bersama dengan dua temannya yaitu Chandra dan Devita untuk dibawa berkompetisi ke Salatiga di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Lalu kemudian muncul kesempatan lain mengembangkan dan menyempurnakan aplikasi ADAB to Connect ini dengan adanya hibah inovasi pendidikan khusus dari KEMENRISTEKDIKTI, dimana tim ADAB to Connect semakin lengkap dengan kehadiran Andrew Cen dan Stanley.

Pada saat penelitian hibah berlangsung, aplikasi ADAB to Connect diujicobakan kepada 3 teman Tuli di jurusan Arsitektur, Sastra Jepang dan SI Online Learning. Banyak masukan positif datang dari teman Tuli yang menyatakan bahwa aplikasi ini sangatlah membantu mereka menangkap penjelasan dosen dengan lebih baik. Bahkan salah satu mahasiswa dari jurusan SI Online Learning sangat mengharapkan aplikasi ADAB ini dapat ia gunakan terus sepanjang perkuliahan. Bagi mahasiswa Tuli, terutama kelas blended learning yang sebagian besar kelasnya dilaksanakan secara online melalui video conference aplikasi ini sangatlah membantu. Hal ini dikarenakan mereka tidak bisa selalu bisa melihat wajah dosen untuk membaca gerak bibir, serta terkadang saat dosen menampilkan slide pembelajaran, penjelasan mengenai slide dilakukan secara lisan dengan posisi wajah dosen tidak terlihat. Tanpa penerjemah bahasa isyarat dan teknologi close caption, aplikasi seperti ADAB to Connect dapat menjembatani hambatan komunikasi tadi dan penjelasan dosen tetap bisa tertangkap oleh mahasiswa Tuli. Bahkan hasil pembelajaran tadi bisa tersimpan di dalam aplikasi sebagai catatan pertemuan kelas, keren banget ya?

Aplikasi ADAB to Connect ini kemudian diujicobakan lagi kepada teman Tuli lain, saat Semester Pendek 2019/2020 dan FYP 2024 batch 4. Reaksi positif kembali datang dari teman tuli sebagai pengguna, mengingat aplikasi ini sangat membantu mereka dalam mengikuti perkuliahan dalam bentuk video conference.

Oleh karenanya teman-teman bisa bayangkan ya, kondisi teman Tuli di perkuliahan jarak jauh yang saat ini diwajibkan untuk diterapkan oleh semua universitas di Indonesia. Betapa besarnya kendala mereka untuk bisa secara utuh menangkap informasi yang disampaikan dosen tanpa aplikasi seperti ADAB to Connect ini.

Yuk teman-teman, mulai membuka diri untuk berinteraksi secara positif dengan teman disabilitas agar terbangun kemampuan untuk berempati dan belajar mengenai sudut pandang mereka. Hal ini akan memperkaya wawasan pertemanan kalian karena mengenal berbagai individu dengan kondisi dan latar belakang yang berbeda. Kalau menurut Stephen R. Covey “strength lies in differences, not in similarities”, yang artinya setiap individu dengan perbedaan pengalaman dan ide yang dibawa, akan dapat saling berbagi dan melengkapi untuk membantu satu sama lain.  Selamat membuka diri dan membuka wawasan baru dari lingkungan. Jangan lupa bahwa kita bisa menjadi pemberi manfaat dan kebaikan bagi orang lain di sekitar kita. Salam inklusi!