Mindset: Sebagai Penentu Kegagalan dan Kesuksesan Binusian

Yudho Hutomo – Student Development Center

Source: Instagram sdc.binus 2019

Gambar: Perbedaan Fixed & Growth Mindset (Carol S. Dweck – Mindset, 2017)

Tentu sudah tak asing lagi mendengar kata mindset. Bahkan mindset dapat membedakan individu satu dengan individu lainnya. Sederhananya, Mindset merupakan cara berpikir yang terbentuk dari keyakinan sehingga mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang.

Menurut Prof. Carol Dweck, seorang pakar psikolog dari Stanford University dalam bukunya berjudul “Mindset”, bahwa cara berpikir seseorang terbagi menjadi dua, yaitu: cara berpikir tetap (Fixed Mindset) dan cara berpikir berkembang (Growth Mindset).

Seorang yang memiliki fixed mindset biasanya memiliki sifat menolak tantangan baru, menganggap kerja keras sebagai sesuatu yang sia-sia dan tidak senang menerima kritik. Kalau ada orang yang lebih hebat menjadi sangat sinis dan menganggap sebagai ancaman. Orang – orang seperti itu biasanya menjadi arogan dan sering membanggakan pencapaian masa lalu (Susah move on).

Sedangkan growth mindset sebaliknya. Berani menerima tantangan dan pelajaran yang belum pernah dikuasai, tidak mengeluh, melihat usaha atau latihan sebagai bagian untuk menjadi mahir, mau menerima nasihat dan kritik membangun serta mendapat insight dari kesuksesan orang lain.

Baiklah, saya ajak Binusian untuk melihat ilustrasi mengenai mindset dari hasil studi Carol Dweck tentang anak-anak pandai yang berpotensi gagal dan anak-anak tak pandai yang berpotensi sukses. Dalam studi kasusnya, dikumpulkan dua kelompok anak-anak. Kelompok pertama adalah anak-anak berprestasi tinggi dan sadar dikenal sebagai anak pandai di sekolah. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari anak-anak yang prestasi akademisnya biasa-biasa saja dan ketika ditanya menjawab “I am Survive”, yang jelas mereka bukan “anak pintar”.

Kedua kelompok diwawancara dan diberi beberapa soal, terdiri dari yang mudah (sudah pernah diajarkan dan gampang) sampai yang sulit (belum pernah diajarkan dan menyusahkan). Pada pelaksanaanya, ternyata anak-anak kelompok pertama banyak protes ketika mengerjakan soal-soal sulit yang belum diajarkan dan mereka menolak mengerjakan. Lembar jawaban tak diisi dan mereka mengatakan “ini belum dipelajari”. Mungkin karena mereka pandai maka mereka tahu apa yang mereka ketahui dan yang tidak diketahui. Sedangkan kelompok kedua, anak-anak yang mengaku “survived” tadi justru mengerjakan semua soal. Mereka tak peduli dengan soal, apakah itu sudah diajarkan atau belum. Mereka tidak protes, tidak peduli dengan image mereka, sekalipun nilainya akan jelek dan dinilai tidak pandai.

Setelah menjalankan tes, semua anak diajak bicara dan diminta menuliskan surat kepada seseorang tentang pengalaman mereka selama ikut eksperimen. Ternyata anak-anak dari kelompok pandai melebih-lebihkan diri mereka, bercerita lebih hebat dari yang bisa atau mereka kerjakan. Sedangkan kelompok kedua bercerita apa adanya, sesuai yang mereka rasakan.

Fixed Mindset: Muara sebuah kegagalan

Setelah melalui analisis dan wawancara mendalam, Carol Dweck menemukan dua tipe manusia yang menentukan sikapnya terhadap sukses atau gagal. Ia mengatakan begini, “After seven experiments with hundreds of children, we had some of the clearest findings I’ve ever seen. Praising children’s intelligence harms their motivation & harms their performance. How can be? Don’t children love to be praised ?”. Tentu saja, mungkin sebagian dari kita senang dipuji. Khususnya pujian bakat dan kecerdasan. Lanjut ia mengatakan “But only for the moment. The minutes they hit a snag, their confidence goes out the window and their motivation hits rock bottom. If success means they are smart, then failure means they are dumb. That’s the fixed mindset”. Jadi, pandai atau tidak pandai, muaranya akan pada kegagalan kalau setting pikirannya adalah fixed mindset.

Nah, persoalannya sebagian dari kita juga selalu mengukur kecerdasan hanya dilihat dari kemampuan belajar berdasarkan nilai kertas saja, bukan dilihat dari aspek seperti bagaimana kemampuan mengelola hidup, bagaimana respon dalam menghadapi setiap kesulitan. Masalahnya, kalau seseorang sudah percaya bahwa dirinya sudah jago, sudah pandai dan terbiasa juara, bisa jadi merasa sudah puas, sudah selesai, sudah hebat dan sudah cukup. Kemudian fixed mindset membentuk cara berpikirnya dan membawa kecenderungan seperti merasa paling pandai sehingga tak berani mencoba hal-hal baru. Setiap kali mencoba hal baru dan hasilnya dinilai kurang bagus menjadi sangat mudah kecewa dan mengungkapkan rasa kecewanya melalui media sosial. Menggerutu, menyalahkan keadaan bahkan orang lain.

Terkadang mereka juga cenderung tak bisa menerima kenyataan kalau orang lain dinilai lebih baik dari dirinya. Pada akhirnya timbul rasa sinis, sikap sulit menerima tantangan, enggan mencoba hal baru yang sama sekali tak dikenal dan belum dipelajarinya. Sering mengeluh dan menolak menghadapi kesulitan. Selain itu mereka tak mudah menerima kritikan, otaknya mudah “stress” kalau mendapat kritikan. Padahal kalau ingin berkembang, orang butuh advice dari orang lain kan?

Growth Mindset: Langkah awal meraih kesuksesan

Itulah yang membuat orang pandai hanya berada dalam batasan yang dibuatnya sendiri. Sementara yang merasa “survive” bisa tumbuh dan berubah. Orang yang “survive” seringkali merasa kurang pandai dan akan terus mencoba dengan segala kemampuannya.

Maka, bukan awal yang menentukan sesuatu. Tetapi bagaimana kita merespon rintangan dalam sebuah perjalanan. Itulah yang disebut Carol Dweck sebagai Growth Mindset. Di bukunya ia juga mengatakan “When you read about an athlete that wins over and over, remind yourself. More than ability, they have character”. Nah fondasi karakter itu dibentuk sejak kecil, dipertajam saat dewasa dan dikoreksi oleh pengalaman yang “keras” untuk membongkar keangkuhan.

Maksud saya, apapun bentuk pencapaian adalah sesuatu yang patut dibanggakan, penting untuk dihargai. Tetapi, jangan mudah puas dengan prestasi gemilang kalau tidak didukung dengan pembentukan mindset berkembang. Bukan tidak mengapresiasi atau demotivasi, karena setiap individu perlu memiliki “self regulation”. Kalau menurut Rhenald Kasali, seorang mentor sekaligus guru besar di FEUI mengatakan bahwa “self regulation” sangat penting agar kita terlatih meregulasi diri, mengaktifkan self control agar lebih terbuka terhadap perubahan sehingga memiliki kemampuan adaptasi, respek terhadap perbedaan dan keunggulan orang lain serta mau mencoba hal baru.

Saya sepakat bahwa pujian itu penting, tetapi hidup dalam pujian juga bisa bahaya. Oleh karena itu, growth mindset mampu mengendalikan diri agar kita tidak terjebak dengan pencapaian masa lalu dan menjadi kekuatan menghadapi bentuk rasa takut, seperti takut menghadapi kesulitan atau takut gagal.

Sebaiknya, kita bisa belajar dari pengalaman orang – orang yang awalnya sulit, penuh dengan tantangan, penuh dengan rasa tidak nyaman namun akhirnya bisa bangkit dan berkembang. Demikian juga Binusian, kalau diantara kita merasa belajarnya susah, selalu mengeluarkan effort besar dalam mendapatkan sesuatu, tetap harus pantang menyerah, pantang membenci, pantang sinis, terus berproses dan mencari jalan. Ingat, kalau “jalan” terasa berat, berarti hidup kita sedang menanjak menuju arah yang lebih baik. Dan pandai maupun tidak pandai bukan masalah. Tetapi persoalannya ada pada mindset kita masing – masing.

Selamat berproses!

Source:

  • Carol S. Dweck – Mindset, 2017
  • Rhenald Kasali, “Growth Mindset” – Jawapos 13 Februari 2012
Harinto Yudho Hutomo, S.I.Kom